Tuesday, February 3, 2015

Drama FA Cup, antara Prioritas, Keindahan, dan Antusiasme

Tidak salah kalau ajang FA Cup dilabeli sebagai "Giant Killers". Probability setidaknya sebuah tim mampu mengalahkan tim yang divisinya persis berada diatasnya mencapai 99,85%, untuk yang berada dua divisi di atasnya mencapai 48.8%, dan kemungkinan setidaknya satu tim mampu mengalahkan tim yang berada 3 gap diatasnya mencapai 39.28%. Melihat rasio tersebut, tidak heran kalau dalam sejarahnya Piala FA memang kental dengan kejutan-kejutan. Tapi rontoknya empat dari enam tim teratas di kandangnya sendiri, dimana tiga diantaranya sempat unggul terlebih dahulu, serta tertahannya Manchester United dan Liverpool oleh tim yang kastanya jauh di bawahnya pada gelaran FA Cup kali ini mungkin menjadi kejutan yang bila dirangkai menjadi satu akan menjadi sebuah drama yang tidak kalah menyedihkannya dari drama yang paling sedih sekalipun.

Drama tersebut tersaji satu setengah pekan yang lalu. Panggungnya, babak 32 besar FA Cup musim 2014/2015. Chelsea, sang pemimpin klasemen English Premier League (EPL) dipermalukan di Stamford Bridge oleh tim Divisi Tiga, Bradford, dengan skor yang cukup telak, 2-4. Manchester City, pesaing terdekat The Blues juga terjungkal di Ettihad
Stadium oleh tim dari Divisi Championship, Middlesbrough dengan skor yang juga mencolok 0-2. Southampton, tim yang sedang naik daun dengan bertengger di peringkat tiga klasemen sementara EPL saat itu kalah 2-3 dari Crystal Palace yang terpaut sepuluh peringkat dari The Saints, juga di kandang sendiri. Tottenham Hotspur tersingkir pula setelah dipecundangi Leicester City, sang penghuni dasar klasemen EPL. Belum berhenti sampai di situ, Manchester United dan Liverpool juga harus melakukan pertandingan ulang setelah ditahan imbang dengan skor kacamata oleh tim yang berada di divisi bawah, Cambridge United dan Bolton Wanderers. Bukan tidak mungkin mereka juga akan tersingkir saat re-match nanti. Hanya Arsenal dan West Ham, dua tim dari 8 besar klasemen EPL sat ini yang mampu langsung loloS dari hadangan tim kecil, itupun dengan susah payah. Ringkasannya sejauh ini, dari 8 tim teratas EPL saat ini, 4 tersingkir, 2 tertahan, dan baru 2 yang lolos.

Ada apa dengan mereka? Mengapa mereka bisa kalah oleh tim yang di atas kertas harusnya bisa mereka kalahkan? Tim-tim besar kalah oleh tim-tim kecil, tim gurem mampu menyingkirkan tim raksasa. Hmmm... dalam hidup kita juga sering menemukan atau bahkan mengalami hal serupa. Adakalanya saat kita merasa superior dalam satu bidang, tapi kemudian ada orang yang kelihatannya lebih lemah ternyata malah mengungguli kita. Adakalanya pula kita inferior di hadapan orang lain dalam bidang lainnya, tapi kemudian tanpa disangka, kita bisa mengalahkan mereka. Berikut beberapa sebAb kekalahan tim-tim besar tersebut yang sekaligus kita coba rangkai hubungannya dengan apa yang kita lihat dan alami dalam kehidupan terkait hal tersebut.

Pertama, FA Cup memang tidak menjadi prioritas tim-tim besar. Tim-tim besar sudah mencanangkan tujuan mereka sejak sebelum musim bergulir. Bagi tim-tim besar target mereka tentu menjuarai EPL atau minimal masuk empat besar untuk lolos ke UEFA Champions League (UCL). Persaingan ketat di papan atas membuat mereka lebih berkonsentrasi di EPL ketimbang ajang lainnya. Belum lagi, tim yang memang juga sudah berlaga di UCL seperti Chelsea dan City. UCL tentunya menjadi target utama mereka disamping juga gelar EPL. Kedalamam skuad juga menjadi pertimbangan. Para manajer khawatir pemain andalan mereka akan cedera atau paling tidak kelelahan bila juga harus konsentrasi pada ajang seperti FA Cup. Dengan kondisi demikian, tidak heran kalau ajang ini hanya akan menjadi target kesekian. Bahkan tidak jarang ajang ini dijadikan panggung bagi tim lapis kedua, semacam untung-untungan, toh lawannya kebanyakan tim-tim yang berada di divisi bawah atau kalaupun bertemu sesama tim besar, mereka juga kemungkinan akan melakukan hal serupa. Kalau hasilnya bagus ya syukur, kalaupun gagal ya tIdak jadi masalah. Bisa jadi itu yang ada di benak para manajer tim papan atas tersebut.

Sama halnya dengan kita. Kita punya energi yang terbatas, waktu terbatas, kemampuan finansial yang terbatas, tapi memiliki keinginan yang sangat banyak. Kita ingin meraih semuanya. Pengalaman membuktikan, ketika kita ingin meraih banyak hal dalam waktu bersamaan, kemudian kita bersikeras untuk berusaha mencapai semuanya, bukannya keberhasilan didapat, yang ada malah kegagalan. Alih-alih meraih semuanya, tujuan utama-pun menjadi meleset. Lalu bagaimana caranya agar kita dapat meraih target utama kita dan target-target lain kalau bisa. Sebagai langkah awal, tentu saja, tentukan tujuan utama kita (target jangka panjang) dan tujuan-tujuan lain yang juga menjadi target berikutnya. Kemudian tetapkan program-program apa saja yang dapat menuju kepada target-target tersebut. Setelah itu, tentukan pula aktiFitas atau kegiatan apa saja yang mampu mengarah pada tercapainya program-program tadi. Dan yang tidak kalah pentingnya, tentukan prioritas-prioritas. Target yang menjadi prioritas lebih utama tentu saja kita beri porsi yang lebih besar, baik waktu, tenaga, maupun fokus, dan seterusnya. Selanjutnya tinggal lakukan dan laksanakan apa yang telah kita rencanakan tersebut. Berusahalah sekuat tenaga untuk menyingkirkan aktifitas dan kegiatan yang tidak berhubungan atau malah bisa menghambat pencapaian target tersebut. Kalaupun ada kegiatan yang tidak bisa dihindari maka jalanilah, hitung-hitung menambah rekening tabungan pengetahuan, pengalaman, dan networking. Penuh atau tidaknya fokus kita, itu tergantung pada situasi dan kondisi kita saat itu.

Kedua, ya itulah keindahan sepakbola. Seperti kata pameo lama, bola itu bundar. Segala kemungkinan bisa tejadi di lapangan hijau. Tidak melulu tim besar selalu mengalahkan tim kecil. Selau ada kejutan-kejutan dan kejadian-kejadian dramatis yang menjadi salah satu daya tarik sepakbola. "What happened is football and football is beaUtiful. I think this is the beauty of football where a much better team can lose, which is difficult to happen in another sport and more possible to happen here in this country and this sport", begitu ujar Jose Mourinho usai timnya disingkirkan Bradford.



Begitu juga dalam hidup. Hidup itu indah, sekalipun itu adalah sebuah kegagalan. Hidup menjadi indah karena ada saatnya keberhasilan yang datang tapi ada juga kalanya kegagalan yang menghampiri. Makanan enak sekalipun kalau dimakan terus-terusan setiap hari tentu akan berkurang kenikmatannya. Ada waktunya senang, kaya, muda, sehat, namun juga akan tiba gilirannya susah, bangkrut, tua, sakit. Semuanya datang siLih berganti bak roda yang berputar. Itulah yang membuat hidup menjadi indah. Namun dari semua itu usaha dan kerja keras serta kedekatan kepada Tuhan Yang Maha Esa tetap menjadi suatu yang utama.


Ketiga, perasaan menganggap enteng lawan. Walaupun merupakan ajang tertua, tapi tetap saja pamor FA Cup masih di bawah EPL. Penyebabnya adalah keikutsertaan tim-tim dari divisi bawah. Ketika sebuah tim besar berhadapan dengan tim kecil, apalagi dari divisi di bawahnya, ditambah pula itu bukanlah prioritas utama mereka, maka disadari atau tidak, perasaan menganggap remeh lawan akan muncul. Efeknya, para pemain dari tim besar akan tampil kurang bersemangat, bahkan pemain lapis kedua sekalipun bisa jadi akan
mengalami hal ini, karena mereka tidak mau hanya diturunkan pada laga-laga yang tidak menjadi prioritas klubnya. Para pemain pelapis itupun sudah mulai mengetahui, bahwa ajang seperti itu, yang kata kebanyakan orang dapat dijadikan sebagai arena unjuk kebolehan guna menarik hati sang manajer dengan harapan dapat menembus tim utama, pada kenyatannya tidak seperti itu. Manajer tetap saja meminggirkan para pemain pelapis walaupun pemain tersebut tampil brillian pada gelaran FA Cup. Mungkin dia akan jadi starter pada satu dua pertandingan EPL atau UCL, tapi setelahnya akan kembali seperti semula. Akan sulit tentunya bagi sang manajer mengangkat motivasi pemainnya jika sudah memiliki anggapan demikian. Chelsea yang tampil dengan sebagian tim utama dan sebagian lagi tim lapis kedua sempat memimpin 2-0, sebelum akhirnya malah terjungkal 2-4. Sebuah ironi, karena sebelum pertandingan, Jose Mourinho sempat menyatakan bahwa kekalahan dari Bradford adalah aib, sebuah pernyataan yang sebenarnya berisi kekhawatiran Mou terhadap pasukannya yang mungkin akan menganggap remeh lawan, dan ternyata memang terbukti adanya.

Melihat kekalahan Chelsea, Southampton, dan Spurs yang sempat unggul terlebih dahulu seolah memperlihatkan fakta bahwa perasaan menganggap remeh lawan yang lebih lemah dan sudah tertinggal terlebih dahulu itu memang ada. Kisah klasik tentang balapan antara kelinci dan kura-kura seperti tersaji di depan kita. Dan kisah tersebut juga sudah banyak terjadi di sekitar kita atau mungkin kita sudah pernah mengalaminya sendiri, baik kita berada di pihak yang menganggap remeh ataupun sebaliknya, kita berada di pihak yang dianggap remeh oleh orang lain, yang intinya, anggapan remeh mampu membalikkan keadaan dari prediksi semula. Sehebat apapun kita, setinggi apapun posisi kita, dan seberapa besarnya kekuasaan kita, jangan pernah menganggap remeh orang lain, karena akan membuat orang lain memiliki momentum untuk menjatuhkan kita. Kalau sudah seperti itu, maka yang rugi juga adalah diri kita sendiri. Sebaliknya, ketika kita dianggap remeh oleh orang lain, tidak perlu marah atau dendam, cukup buktikan saja. Dan pembuktian itu janganlah hanya diniatkan untuk membuktikan kepada orang lain bahwa anggapan orang tentang kita adalah salah, tapi buktikan saja kepada diri kita, bahwa kita mampu berbuat sesuatu.

Keempat, antusiasme tim-tim kecil. Kalau tim besar terkadang menganggap FA Cup bukanlah prioritas, sebaliknya dengan tim-tim kecil. Bermain di kompetisi yang di dalamnya bertebaran tim-tim besar merupakan daya tarik tersendiri buat mereka, disamping popularitas walaupun sesaat. Kesempatan itu menjadi lebih besar lagi
disebabkan tim besar yang cenderung pada dua sebab terdahulu (prioritas dan anggap remeh). Buat mereka Chelsea tetaplah Chelsea dan City tetaplah City terlepas pemain lapis keberapa yang mereka turunkan. Dwngan mengalahkan mereka, kebanggan itu pasti ada. Gelar juara FA Cup juga bukan merupakan hal yang mustahil diraih. Belum lagi kesempatan tampil di European League yang tidak mungkin mereka dapatkan dari jalur liga. Itulah yang membuat mereka antusias, dan antusiasme itulah yang membuat mereka sering tampil luar biasa mengalahkan keterbatasan teknik dan finansial yang mereka miliki. Prosentase di atas tadi memperlihatkan hal itu. Mungkin mereka sendiri juga merasa heran ketika bisa menumbangkan tim-tim besar.

Bagi kita yang merasa tidak memiliki modal awal yang cukup, baik berupa bakat, pengetahuan, finansial, kesehatan, dan lainnya, maka antusiasme menjadi modal yang teramat besar. Antusiasme dapat melahirkan motivasi, semangat, energi, dan kreatifitas, yang dengannya kita akan mampu melahirkan karya-karya yang mampu mengalahkan karya orang-orang yang lebih unggul dari kita dalam hal modal-modal awal tadi. Tidak kurang bukti, ketika kita dan teman-teman kita yang tertinggal jauh dari sisi pelajaran dari teman-teman lainnya, namun saat ini mampu mengungguli mereka setidaknya dari sisi ekonomi. Belum lagi keunggulan dari sisi psikologis seperti kebahagiaan dan kepuasan hidup yang lahir hanya dari sebuah antusiasme.

Itulah kira-kira kenapa FA Cup kerap menjadi ajang pembunuh raksasa yang ternyata ada juga pelajarannya buat kita yach... <sh>

No comments:

Post a Comment