Tuesday, February 3, 2015

Torres dan Kebahagiaan

Setinggi-tinggi bangau terbang, hinggap di punggung kerbau juga. Sebagaimana tangan dilenggang, ke ketiak juga lekatnya.

Akhirnya si anak hilang itu pulang kampung. Sejauh-jauh Torres merantau, ke Atletico juga kembalinya. Cerita tentang Torres bagaikan sebuah kisah melankolik tentang kebahagiaan.


Bagi Torres, Chelsea dan Milan adalah mimpi buruk. Bukan hanya buat Torres, tapi buat penggemarnya. Chelsea dan Milan ternyata tidak sesuai impiannya. 

Di Chelsea dia memang mendapatkan banyak gelar, sesuatu yang ingin diraihnya saat memutuskan meninggalkan Atletico dan Liverpool. Masing-masing 1 FA Cup, UCL, dan Europa League adalah raihan The Blues saat Torres merumput di Stamford Bridge. Tapi bukan demikian cara yang diinginkan Torres. Torres tidak memberikan banyak kontribusi pada semua pencapaian Chelsea saat itu. Dia memang beberapa kali mencetak gol-gol penting, tapi secara jumlah? Itu bukanlah capaian seorang El Nino. Adalah beban-beban mental yang membuat dia mandul. Beban sebagai pemain berharga jutaan pounds, beban perasaan mengkhianati The Reds dan fans-nya, dan beban cedera lutut kambuhan. Torres kehilangan kepercayan dirinya. Sebenarnya ada satu lagi beban Torres, yaitu kerinduan pada Atletico Madrid. Kerinduan yang Torres sendiri masih menyangkalnya saat dia mulai terpinggirkan di Milan. Kerinduan yang bahkan bisa dirasakan oleh fans-nya yang belum puas menyaksikan keganasan sang predator saat berbaju putih-merah.



Pindah ke Milan dengan penuh harap kembali menjadi penting. Apa daya, kepercayaan dirinya terlanjur pudar. Hanya satu gol dari 10 pertandingan. Pippo lebih memilih El Sharawy, Pazzini, dan Honda.


Liverpool? Anfield memang menjadi saksi ketajaman seorang El Nino. Seabrek gelar individu diraihnya bersama The Reds. Puncak karir individu Torres bisa dibilang memang di Liverpool. Tapi untuk urusan trofi? Lagi-lagi, tak ada satu gelarpun yang mampir di Anfield saat Torres disana. Padahal itulah yang dia cari ketika Atletico tak jua mampu bersaing dengan duo raksasa La Liga.

Pertanyaannya, apakah benar ini adalah akhir dari seorang Fernando Torres?
Coba kita simpulkan.
Di Atletico dan Liverpool, usia 17-27, subur tapi tak ada gelar.
Di Chelsea, usia 27-30, banyak gelar, banyak main, tapi mandul.
Di Milan, usia 30, banyak main tapi mandul.

Sekarang kembali ke Atletico. Kalau masih mandul, berarti dia sudah habis.
Kalau subur lagi, berarti memang ada sesuatu yang hilang saat dia di Chelsea ataupun Milan. Dua gol-nya ke gawang Madrid sepertinya lebih mengisyaratkan kemungkinan yang kedua. Memang baru dua gol awal, tapi sepanjang karirnya belum pernah dia menjebol gawang Madrid di Bernabeu. Tidak ada keraguan, tidak ada kegelisahan, yang ada hasrat yang luar biasa, gairah yang menyala, kegembiraan yang spontan ketika itu, dan bagaikan ada beban berat yang terlepas begitu saja. Semua itu terangkum dalam satu kata; Kebahagiaan. "Saya pergi ke Atletico untuk mengejar kebahagiaan-kebahagiaan saya", begitu Torres bertutur.



Pelajaran buat kita; Ambisi berlebih hanya melahirkan penyesalan, walaupun juga memberikan pelajaran dan pengalaman, tapi harganya sangat mahal, terlalu mahal dan tidak sebanding dengan apa yang kita dapatkan.
Karenanya, segeralah kenali 'passion' kita, temukan 'sense' kita, hadirkan kembali gairah kita, karena disanalah adanya kebahagiaan. Kebahagiaan akan mendatangkan keberhasilan. Kebahagiaan akan menghadirkan kesuksesan, dan kebahagiaan hanya kita dapatkan pada tempat di mana kita bergairah untuk berkarya.

Karena mencari trofi Torres pergi, karena mencari kebahagiaan Torres kembali...

No comments:

Post a Comment