Thursday, February 5, 2015

Buku : Total Football, Sepakbola Its About Life

Sepakbola tidak melulu bicara soal teknis, tidak selamanya soal siapa pemain terbaik, siapa manajer terbaik, dan siapa tim terbaik. Ternyata, ketika bicara sepakbola kita juga bisa bicara tentang kehidupan, kita bisa bicara tentang kebahagaiaan, dan kita juga bisa bicara tentang tujuan.

Sayang rasanya kalau kita sebagai penggemar sepakbola hanya berhenti pada pengetahuan bahwa yang menciptakan tendangan penalti dengan chip adalah Antonio Panenka. Masih kurang lengkap rasanya kalau kita hanya tahu bahwa tim nasional sepakbola Indonesia pernah berlaga di Piala Dunia dan Olimpiade. Sayang kalau kita hanya berhenti sampai di situ tanpa bisa mengambil pelajaran darinya. Ya.. pelajaran tentang kehidupan juga bisa kita dapatkan dari sepakbola. More than a game, its about life.

AlhamduliLLAH, sejak Juni 2014 lalu, Grasindo Publishers, sebuah penerbit yang bernaung dalam Kompas Gramedia Grup menerbitkan sebuah buku yang di dalamnya mengupas sisi lebih dalam dari sepakbola. Sepakbola bukan hanya sekedar teknis semata, tapi juga pelajaran dan hikmah yang digali dari peristiwa, kejadian, maupun hasil dari pertandingan dan kompetisi sepakbola. Buku itu berjudul : Total Football, Sepakbola Its About Life.


Buku ini bisa didapatkan di Toko-toko buku Gramedia terdekat. Bisa juga didapatkan di beberapa book online store seperti :

www.gramediaonline.com/moreinfo.cfm?Product_ID=883621

atau

www.bukabuku.com/browses/product/9786022515739/total-football-sepak-bola-its-about-life.html

Resensi buku tersebut juga bisa dibaca di :

www.jurnas.com/news/140315/Hidup-dan-Sepak-Bola---2014/1/Hiburan/Rupa-Rupa

Terrnyata banyak pelajaran dan hikmah berupa 'value of life' bisa kita dapatkan dari sepakbola. Semoga dengan membacanya kita lebih dapat menikmati sepakbola baik dari segi teknis maupun dari pesan-pesan kehidupan yang terkandung di dalamnya.

Tuesday, February 3, 2015

Drama FA Cup, antara Prioritas, Keindahan, dan Antusiasme

Tidak salah kalau ajang FA Cup dilabeli sebagai "Giant Killers". Probability setidaknya sebuah tim mampu mengalahkan tim yang divisinya persis berada diatasnya mencapai 99,85%, untuk yang berada dua divisi di atasnya mencapai 48.8%, dan kemungkinan setidaknya satu tim mampu mengalahkan tim yang berada 3 gap diatasnya mencapai 39.28%. Melihat rasio tersebut, tidak heran kalau dalam sejarahnya Piala FA memang kental dengan kejutan-kejutan. Tapi rontoknya empat dari enam tim teratas di kandangnya sendiri, dimana tiga diantaranya sempat unggul terlebih dahulu, serta tertahannya Manchester United dan Liverpool oleh tim yang kastanya jauh di bawahnya pada gelaran FA Cup kali ini mungkin menjadi kejutan yang bila dirangkai menjadi satu akan menjadi sebuah drama yang tidak kalah menyedihkannya dari drama yang paling sedih sekalipun.

Drama tersebut tersaji satu setengah pekan yang lalu. Panggungnya, babak 32 besar FA Cup musim 2014/2015. Chelsea, sang pemimpin klasemen English Premier League (EPL) dipermalukan di Stamford Bridge oleh tim Divisi Tiga, Bradford, dengan skor yang cukup telak, 2-4. Manchester City, pesaing terdekat The Blues juga terjungkal di Ettihad
Stadium oleh tim dari Divisi Championship, Middlesbrough dengan skor yang juga mencolok 0-2. Southampton, tim yang sedang naik daun dengan bertengger di peringkat tiga klasemen sementara EPL saat itu kalah 2-3 dari Crystal Palace yang terpaut sepuluh peringkat dari The Saints, juga di kandang sendiri. Tottenham Hotspur tersingkir pula setelah dipecundangi Leicester City, sang penghuni dasar klasemen EPL. Belum berhenti sampai di situ, Manchester United dan Liverpool juga harus melakukan pertandingan ulang setelah ditahan imbang dengan skor kacamata oleh tim yang berada di divisi bawah, Cambridge United dan Bolton Wanderers. Bukan tidak mungkin mereka juga akan tersingkir saat re-match nanti. Hanya Arsenal dan West Ham, dua tim dari 8 besar klasemen EPL sat ini yang mampu langsung loloS dari hadangan tim kecil, itupun dengan susah payah. Ringkasannya sejauh ini, dari 8 tim teratas EPL saat ini, 4 tersingkir, 2 tertahan, dan baru 2 yang lolos.

Ada apa dengan mereka? Mengapa mereka bisa kalah oleh tim yang di atas kertas harusnya bisa mereka kalahkan? Tim-tim besar kalah oleh tim-tim kecil, tim gurem mampu menyingkirkan tim raksasa. Hmmm... dalam hidup kita juga sering menemukan atau bahkan mengalami hal serupa. Adakalanya saat kita merasa superior dalam satu bidang, tapi kemudian ada orang yang kelihatannya lebih lemah ternyata malah mengungguli kita. Adakalanya pula kita inferior di hadapan orang lain dalam bidang lainnya, tapi kemudian tanpa disangka, kita bisa mengalahkan mereka. Berikut beberapa sebAb kekalahan tim-tim besar tersebut yang sekaligus kita coba rangkai hubungannya dengan apa yang kita lihat dan alami dalam kehidupan terkait hal tersebut.

Pertama, FA Cup memang tidak menjadi prioritas tim-tim besar. Tim-tim besar sudah mencanangkan tujuan mereka sejak sebelum musim bergulir. Bagi tim-tim besar target mereka tentu menjuarai EPL atau minimal masuk empat besar untuk lolos ke UEFA Champions League (UCL). Persaingan ketat di papan atas membuat mereka lebih berkonsentrasi di EPL ketimbang ajang lainnya. Belum lagi, tim yang memang juga sudah berlaga di UCL seperti Chelsea dan City. UCL tentunya menjadi target utama mereka disamping juga gelar EPL. Kedalamam skuad juga menjadi pertimbangan. Para manajer khawatir pemain andalan mereka akan cedera atau paling tidak kelelahan bila juga harus konsentrasi pada ajang seperti FA Cup. Dengan kondisi demikian, tidak heran kalau ajang ini hanya akan menjadi target kesekian. Bahkan tidak jarang ajang ini dijadikan panggung bagi tim lapis kedua, semacam untung-untungan, toh lawannya kebanyakan tim-tim yang berada di divisi bawah atau kalaupun bertemu sesama tim besar, mereka juga kemungkinan akan melakukan hal serupa. Kalau hasilnya bagus ya syukur, kalaupun gagal ya tIdak jadi masalah. Bisa jadi itu yang ada di benak para manajer tim papan atas tersebut.

Sama halnya dengan kita. Kita punya energi yang terbatas, waktu terbatas, kemampuan finansial yang terbatas, tapi memiliki keinginan yang sangat banyak. Kita ingin meraih semuanya. Pengalaman membuktikan, ketika kita ingin meraih banyak hal dalam waktu bersamaan, kemudian kita bersikeras untuk berusaha mencapai semuanya, bukannya keberhasilan didapat, yang ada malah kegagalan. Alih-alih meraih semuanya, tujuan utama-pun menjadi meleset. Lalu bagaimana caranya agar kita dapat meraih target utama kita dan target-target lain kalau bisa. Sebagai langkah awal, tentu saja, tentukan tujuan utama kita (target jangka panjang) dan tujuan-tujuan lain yang juga menjadi target berikutnya. Kemudian tetapkan program-program apa saja yang dapat menuju kepada target-target tersebut. Setelah itu, tentukan pula aktiFitas atau kegiatan apa saja yang mampu mengarah pada tercapainya program-program tadi. Dan yang tidak kalah pentingnya, tentukan prioritas-prioritas. Target yang menjadi prioritas lebih utama tentu saja kita beri porsi yang lebih besar, baik waktu, tenaga, maupun fokus, dan seterusnya. Selanjutnya tinggal lakukan dan laksanakan apa yang telah kita rencanakan tersebut. Berusahalah sekuat tenaga untuk menyingkirkan aktifitas dan kegiatan yang tidak berhubungan atau malah bisa menghambat pencapaian target tersebut. Kalaupun ada kegiatan yang tidak bisa dihindari maka jalanilah, hitung-hitung menambah rekening tabungan pengetahuan, pengalaman, dan networking. Penuh atau tidaknya fokus kita, itu tergantung pada situasi dan kondisi kita saat itu.

Kedua, ya itulah keindahan sepakbola. Seperti kata pameo lama, bola itu bundar. Segala kemungkinan bisa tejadi di lapangan hijau. Tidak melulu tim besar selalu mengalahkan tim kecil. Selau ada kejutan-kejutan dan kejadian-kejadian dramatis yang menjadi salah satu daya tarik sepakbola. "What happened is football and football is beaUtiful. I think this is the beauty of football where a much better team can lose, which is difficult to happen in another sport and more possible to happen here in this country and this sport", begitu ujar Jose Mourinho usai timnya disingkirkan Bradford.



Begitu juga dalam hidup. Hidup itu indah, sekalipun itu adalah sebuah kegagalan. Hidup menjadi indah karena ada saatnya keberhasilan yang datang tapi ada juga kalanya kegagalan yang menghampiri. Makanan enak sekalipun kalau dimakan terus-terusan setiap hari tentu akan berkurang kenikmatannya. Ada waktunya senang, kaya, muda, sehat, namun juga akan tiba gilirannya susah, bangkrut, tua, sakit. Semuanya datang siLih berganti bak roda yang berputar. Itulah yang membuat hidup menjadi indah. Namun dari semua itu usaha dan kerja keras serta kedekatan kepada Tuhan Yang Maha Esa tetap menjadi suatu yang utama.


Ketiga, perasaan menganggap enteng lawan. Walaupun merupakan ajang tertua, tapi tetap saja pamor FA Cup masih di bawah EPL. Penyebabnya adalah keikutsertaan tim-tim dari divisi bawah. Ketika sebuah tim besar berhadapan dengan tim kecil, apalagi dari divisi di bawahnya, ditambah pula itu bukanlah prioritas utama mereka, maka disadari atau tidak, perasaan menganggap remeh lawan akan muncul. Efeknya, para pemain dari tim besar akan tampil kurang bersemangat, bahkan pemain lapis kedua sekalipun bisa jadi akan
mengalami hal ini, karena mereka tidak mau hanya diturunkan pada laga-laga yang tidak menjadi prioritas klubnya. Para pemain pelapis itupun sudah mulai mengetahui, bahwa ajang seperti itu, yang kata kebanyakan orang dapat dijadikan sebagai arena unjuk kebolehan guna menarik hati sang manajer dengan harapan dapat menembus tim utama, pada kenyatannya tidak seperti itu. Manajer tetap saja meminggirkan para pemain pelapis walaupun pemain tersebut tampil brillian pada gelaran FA Cup. Mungkin dia akan jadi starter pada satu dua pertandingan EPL atau UCL, tapi setelahnya akan kembali seperti semula. Akan sulit tentunya bagi sang manajer mengangkat motivasi pemainnya jika sudah memiliki anggapan demikian. Chelsea yang tampil dengan sebagian tim utama dan sebagian lagi tim lapis kedua sempat memimpin 2-0, sebelum akhirnya malah terjungkal 2-4. Sebuah ironi, karena sebelum pertandingan, Jose Mourinho sempat menyatakan bahwa kekalahan dari Bradford adalah aib, sebuah pernyataan yang sebenarnya berisi kekhawatiran Mou terhadap pasukannya yang mungkin akan menganggap remeh lawan, dan ternyata memang terbukti adanya.

Melihat kekalahan Chelsea, Southampton, dan Spurs yang sempat unggul terlebih dahulu seolah memperlihatkan fakta bahwa perasaan menganggap remeh lawan yang lebih lemah dan sudah tertinggal terlebih dahulu itu memang ada. Kisah klasik tentang balapan antara kelinci dan kura-kura seperti tersaji di depan kita. Dan kisah tersebut juga sudah banyak terjadi di sekitar kita atau mungkin kita sudah pernah mengalaminya sendiri, baik kita berada di pihak yang menganggap remeh ataupun sebaliknya, kita berada di pihak yang dianggap remeh oleh orang lain, yang intinya, anggapan remeh mampu membalikkan keadaan dari prediksi semula. Sehebat apapun kita, setinggi apapun posisi kita, dan seberapa besarnya kekuasaan kita, jangan pernah menganggap remeh orang lain, karena akan membuat orang lain memiliki momentum untuk menjatuhkan kita. Kalau sudah seperti itu, maka yang rugi juga adalah diri kita sendiri. Sebaliknya, ketika kita dianggap remeh oleh orang lain, tidak perlu marah atau dendam, cukup buktikan saja. Dan pembuktian itu janganlah hanya diniatkan untuk membuktikan kepada orang lain bahwa anggapan orang tentang kita adalah salah, tapi buktikan saja kepada diri kita, bahwa kita mampu berbuat sesuatu.

Keempat, antusiasme tim-tim kecil. Kalau tim besar terkadang menganggap FA Cup bukanlah prioritas, sebaliknya dengan tim-tim kecil. Bermain di kompetisi yang di dalamnya bertebaran tim-tim besar merupakan daya tarik tersendiri buat mereka, disamping popularitas walaupun sesaat. Kesempatan itu menjadi lebih besar lagi
disebabkan tim besar yang cenderung pada dua sebab terdahulu (prioritas dan anggap remeh). Buat mereka Chelsea tetaplah Chelsea dan City tetaplah City terlepas pemain lapis keberapa yang mereka turunkan. Dwngan mengalahkan mereka, kebanggan itu pasti ada. Gelar juara FA Cup juga bukan merupakan hal yang mustahil diraih. Belum lagi kesempatan tampil di European League yang tidak mungkin mereka dapatkan dari jalur liga. Itulah yang membuat mereka antusias, dan antusiasme itulah yang membuat mereka sering tampil luar biasa mengalahkan keterbatasan teknik dan finansial yang mereka miliki. Prosentase di atas tadi memperlihatkan hal itu. Mungkin mereka sendiri juga merasa heran ketika bisa menumbangkan tim-tim besar.

Bagi kita yang merasa tidak memiliki modal awal yang cukup, baik berupa bakat, pengetahuan, finansial, kesehatan, dan lainnya, maka antusiasme menjadi modal yang teramat besar. Antusiasme dapat melahirkan motivasi, semangat, energi, dan kreatifitas, yang dengannya kita akan mampu melahirkan karya-karya yang mampu mengalahkan karya orang-orang yang lebih unggul dari kita dalam hal modal-modal awal tadi. Tidak kurang bukti, ketika kita dan teman-teman kita yang tertinggal jauh dari sisi pelajaran dari teman-teman lainnya, namun saat ini mampu mengungguli mereka setidaknya dari sisi ekonomi. Belum lagi keunggulan dari sisi psikologis seperti kebahagiaan dan kepuasan hidup yang lahir hanya dari sebuah antusiasme.

Itulah kira-kira kenapa FA Cup kerap menjadi ajang pembunuh raksasa yang ternyata ada juga pelajarannya buat kita yach... <sh>

Torres dan Kebahagiaan

Setinggi-tinggi bangau terbang, hinggap di punggung kerbau juga. Sebagaimana tangan dilenggang, ke ketiak juga lekatnya.

Akhirnya si anak hilang itu pulang kampung. Sejauh-jauh Torres merantau, ke Atletico juga kembalinya. Cerita tentang Torres bagaikan sebuah kisah melankolik tentang kebahagiaan.


Bagi Torres, Chelsea dan Milan adalah mimpi buruk. Bukan hanya buat Torres, tapi buat penggemarnya. Chelsea dan Milan ternyata tidak sesuai impiannya. 

Di Chelsea dia memang mendapatkan banyak gelar, sesuatu yang ingin diraihnya saat memutuskan meninggalkan Atletico dan Liverpool. Masing-masing 1 FA Cup, UCL, dan Europa League adalah raihan The Blues saat Torres merumput di Stamford Bridge. Tapi bukan demikian cara yang diinginkan Torres. Torres tidak memberikan banyak kontribusi pada semua pencapaian Chelsea saat itu. Dia memang beberapa kali mencetak gol-gol penting, tapi secara jumlah? Itu bukanlah capaian seorang El Nino. Adalah beban-beban mental yang membuat dia mandul. Beban sebagai pemain berharga jutaan pounds, beban perasaan mengkhianati The Reds dan fans-nya, dan beban cedera lutut kambuhan. Torres kehilangan kepercayan dirinya. Sebenarnya ada satu lagi beban Torres, yaitu kerinduan pada Atletico Madrid. Kerinduan yang Torres sendiri masih menyangkalnya saat dia mulai terpinggirkan di Milan. Kerinduan yang bahkan bisa dirasakan oleh fans-nya yang belum puas menyaksikan keganasan sang predator saat berbaju putih-merah.



Pindah ke Milan dengan penuh harap kembali menjadi penting. Apa daya, kepercayaan dirinya terlanjur pudar. Hanya satu gol dari 10 pertandingan. Pippo lebih memilih El Sharawy, Pazzini, dan Honda.


Liverpool? Anfield memang menjadi saksi ketajaman seorang El Nino. Seabrek gelar individu diraihnya bersama The Reds. Puncak karir individu Torres bisa dibilang memang di Liverpool. Tapi untuk urusan trofi? Lagi-lagi, tak ada satu gelarpun yang mampir di Anfield saat Torres disana. Padahal itulah yang dia cari ketika Atletico tak jua mampu bersaing dengan duo raksasa La Liga.

Pertanyaannya, apakah benar ini adalah akhir dari seorang Fernando Torres?
Coba kita simpulkan.
Di Atletico dan Liverpool, usia 17-27, subur tapi tak ada gelar.
Di Chelsea, usia 27-30, banyak gelar, banyak main, tapi mandul.
Di Milan, usia 30, banyak main tapi mandul.

Sekarang kembali ke Atletico. Kalau masih mandul, berarti dia sudah habis.
Kalau subur lagi, berarti memang ada sesuatu yang hilang saat dia di Chelsea ataupun Milan. Dua gol-nya ke gawang Madrid sepertinya lebih mengisyaratkan kemungkinan yang kedua. Memang baru dua gol awal, tapi sepanjang karirnya belum pernah dia menjebol gawang Madrid di Bernabeu. Tidak ada keraguan, tidak ada kegelisahan, yang ada hasrat yang luar biasa, gairah yang menyala, kegembiraan yang spontan ketika itu, dan bagaikan ada beban berat yang terlepas begitu saja. Semua itu terangkum dalam satu kata; Kebahagiaan. "Saya pergi ke Atletico untuk mengejar kebahagiaan-kebahagiaan saya", begitu Torres bertutur.



Pelajaran buat kita; Ambisi berlebih hanya melahirkan penyesalan, walaupun juga memberikan pelajaran dan pengalaman, tapi harganya sangat mahal, terlalu mahal dan tidak sebanding dengan apa yang kita dapatkan.
Karenanya, segeralah kenali 'passion' kita, temukan 'sense' kita, hadirkan kembali gairah kita, karena disanalah adanya kebahagiaan. Kebahagiaan akan mendatangkan keberhasilan. Kebahagiaan akan menghadirkan kesuksesan, dan kebahagiaan hanya kita dapatkan pada tempat di mana kita bergairah untuk berkarya.

Karena mencari trofi Torres pergi, karena mencari kebahagiaan Torres kembali...

Friday, August 29, 2014

Pesta (belum) Usai!

Melanggengkan Semangat Ramadhan dan Piala Dunia 


Dalam kurun waktu dua bulan terakhir ini, kita, rakyat Indonesia pada umunya dan umat muslim di Indonesia pada khususnya disuguhkan dengan tiga momen besar. Ketiga momen besar itu yaitu Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014, Bulan Ramadhan 1435 H, dan Piala Dunia 2014. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dilangsungkan pada tanggal 9 Juli 2014. Bulan Ramadhan 1435 H yang merupakan bulan penuh berkah bagi umat muslim yang di dalamnya ada kewajiban berpuasa selama satu bulan penuh baru saja berakhir satu bulan yang lalu ditandai dengan datangnya Idul Fitri 1 Syawal 1435 H yang di Indonesia juga diwarnai dengan tradisi mudik ke kampung halaman. Momen besar lainnya adalah Piala Dunia 2014 yang berlangsung di Brazil yang merupakan gelaran terbesar dalam gemerlapnya dunia sepakbola, tempat berkumpulnya pemain-pemain terbaik dari negara-negara terbaik di bawah polesan pelatih-pelatih terbaik untuk meraih tahta tertinggi dalam percaturan sepakbola. Pada tahun ini, ketiga even tersebut berlangsung pada waktu yang hampir bersamaan atau beririsan. Awal Ramadhan 1435 H datang saat Piala Dunia memasuki fase knock-out di babak 16 besar. Final Piala Dunia berlangsung saat Ramadhan sedang setengah jalan atau mulai memasuki pekan ketiga. Sedangkan Pilpres dilangsungkan pada pekan kedua Ramadhan dan saat Piala Dunia memasuki babak semifinal.

Sekarang, ketiga even itu sudah berlalu dari hadapan kita, terlepas dari bagaimana hasilnya.  Dengan berlalunya ketiga even itu, maka denyut kehidupan sebagian besar dari kita secara berangsur akan kembali normal lagi. Masyarakat yang tadinya terbelah saat Pilpres dan terbagi saat Piala Dunia sesuai tim yang didukungnya, akur kembali ketika saling bersilaturahmi dan berma'af-ma'afan di Hari Raya. Mereka yang tadinya begadang atau bangun malam karena ingin menonton siaran langsung Piala Dunia dan sahur bersama keluarga, kini kembali ke aktivitas normal lagi, walaupun masih banyak umat muslim yang melanjutkan kebiasaan menjalankan puasa sunnah. Peristiwa-peristiwa dan momen-momen besar tersebut sudah berlalu, lantas apa yang tersisa dari peristiwa-peristiwa besar itu? Sebagai orang cerdas, tentunya kita tidak akan membiarkan peristiwa-peristiwa besar itu berlalu begitu saja tanpa mampu mengambil hikmah dan pelajaran yang mendalam.

Dengan mengesampingkan sementara Pilpres yang merupakan pembahasan yang agak sensitif saat ini, kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari Ramadhan dan Piala Dunia, salah satunya dengan menarik beberapa persamaan dari kedua peristiwa tersebut. Sejatinya, kedua peristiwa akbar ini memang tidak berhubungan setidaknya secara langsung. Ramadhan jelas merupakan bulan yang penuh berkah bagi orang beriman. Ia adalah bulan penuh rahmat dan ampunan. Ia juga adalah bulan diturunkannya Al Qur'an dan bulan dimana terdapat Lailatul Qadr, yaitu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Ramadhan adalah bulan dimana orang-orang beriman diwajibkan berpuasa selama satu bulan penuh dan menjalankan ibadah-ibadah lainnya yang dengannya orang-orang yang menunaikannya diharapkan dapat menggapai predikat taqwa. Sedangkan Piala Dunia adalah bulannya sepakbola. Pemain-pemain terbaik, tim-tim terbaik, dan pelatih-pelatih terbaik berkumpul di Brazil untuk memperlihatkan kebolehannya dengan tujuan meraih Piala Dunia.  Kita yang berada jauh dari tempat penyelenggaraan turut terjangkit demamnya dengan mendukung tim kesayangan dan mengikuti pertandingan-pertandingannya lewat layar kaca.

Secara kasat mata memang kedua ajang ini bisa dibilang tidak berhubungan atau bahkan ada yang mengatakan bertolak belakang. Bagi orang-orang yang beriman, bulan Ramadhan adalah bulan untuk memperbanyak amal dan ibadah, sedangkan menonton dan mengikuti perkembangan Piala Dunia dianggap sebagai perbuatan yang sia-sia. Walaupun berbeda, tidak ada salahnya bila kita mencoba menarik hikmah dan pelajaran dengan cara menarik beberapa persamaan dari keduanya.  Tujuannya tentu saja bagaimana kita bisa mengambil manfaat darinya agar kita dapat memperbaiki diri kita untuk menjadi lebih baik lagi. Dalam sebuah haditsnya, RasuluLLAH SAW bersabda, "Hikmah adalah milik muslim yang hilang, dimana saja dia menemukannya, maka ia berhak mengambilnya." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Semua peristiwa dalam kehidupan kita, tidak terkecuali sepakbola memiliki hikmah yang mendalam bagi kita kalau kita mau merenunginya.  Suka tidak suka, mau tidak mau, sepakbola sudah menjadi olahraga paling populer di muka bumi ini, sehingga tidak ada salahnya kita mengikuti perkembangan sepakbola, asalkan tidak berhenti hanya sampai pada fanatisme sempit semata (sekedar mendukung pemain atau tim tertentu), tapi harus bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian seputar sepakbola.  Banyak nilai-nilai positif dalam sepakbola yang bisa kita tarik dalam kehidupan nyata dan dapat kita jadikan sebagai bahan inspirasi dan motivasi bagi kita demi pengembangan diri kita.

Untuk itu, kali ini, kita coba membedah beberapa persamaan Ramadhan dengan Piala Dunia. Persamaan yang pertama adalah bahwa kedua ajang itu menjadi ajang pembuktian. Piala Dunia yang merupakan gelaran paling akbar di dunia sepakbola menjadi ajang pembuktian bagi seorang pemain bahwa mereka adalah pemain hebat, pembuktian bagi seorang pelatih bahwa dia memang pantas menangani tim nasional sebuah negara dan pembuktian bagi sebuah negara bahwa mereka mampu menorehkan prestasi di ajang sepakbola internasional. Semua pemain sepakbola akan mempertaruhkan segalanya demi bisa bermain di Piala Dunia. Tapi tidak sembarang pemain, pelatih, atapun negara boleh tampil disana. Sejak empat tahun sebelumnya mereka harus berjuang keras melewati babak kualifikasi untuk membuktikan bahwa mereka memang pantas tampil di putaran final Piala Dunia, terkecuali tuan rumah yang otomatis lolos. Mereka semua yang tampil di Piala Dunia sudah melewati seleksi yang ketat. Itulah mengapa sebabnya Piala Dunia selalu menjadi pusat perhatian dunia. Pemain terbaik, pelatih terbaik, dan negara terbaik berkumpul dalam satu ajang untuk membuktikan, siapa yang terbaik di antara mereka.

Tampil apik di Piala Dunia akan membuktikan kepada orang banyak akan kemampuan seorang pemain. Lionel Messi merasa gerah karena belum mampu mengantarkan negaranya meraih trofi Piala Dunia, hal yang membuat orang masih saja menempatkan Messi di bawah bayang-bayang Maradona, walaupun dia sudah empat kali menyabet gelar pemain terbaik dunia dan sudah meraih semua gelar tertinggi di level klub. Hampir mirip dengan apa yang dialami Cristiano Ronaldo yang kerap dikritik karena tidak kunjung mampu memberikan yang terbaik ketika membela panji Portugal. Neymar ingin membuktikan bahwa dia mampu menanggung beban berat dengan memimpin rekan-rekannya mempersembahkan Piala Dunia di hadapan para pendukungnya. Para pemain Inggris juga ingin terus membuktikan bahwa mereka mampu tampil baik dan kompak bagi negaranya dan lepas dari rivalitas di level klub.  Belanda dan Italia ingin membuktikan bahwa dengan bekal pemain-pemain muda mereka bisa melaju jauh. Tim-tim kuda hitam macam Meksiko, Kolombia, dan Kostarika ingin membuktikan bahwa mereka bisa menghadirkan kejutan. Begitu juga, semua pemain akan memberikan kemampuan terbaik yang mereka punyai. Tujuannya selain untuk mengantarkan negaranya melaju sejauh mungkin dan meraih gelar juara, juga agar mereka mendapat jaminan tempat di dalam skuad tim nasionalnya yang pada akhirnya akan membuat mereka dilirik oleh tim-tim besar atau minimal menaikkan nilai tawar mereka di hadapan klubnya saat ini. Kemeriahan, kemegahan, dan gengsi Piala Dunia memang benar-benar menjanjikan sensasi luar biasa yang menjadi daya tarik tersendiri bahkan bagi seorang pemain bintang. Oleh karenanya, ketika seorang pemain absen baik karena cedera, seperti Radamel Falcao (Kolombia) dan Marco Reus (Jerman) atau karena negaranya tidak lolos ke putaran final Piala Dunia, seperti Zlatan Ibrahimovic (Swedia), atau juga karena tidak dipanggil oleh sang pelatih, macam Carlos Tevez (Argentina), maka pemain tersebut akan merasakan kekecewaan yang mendalam.

Begitu juga dengan Ramadhan, dia menjadi ajang pembuktian bagi orang yang mengaku beriman. Orang-orang yang mau melaksanakan ibadah puasa adalah orang-orang yang terpilih dari seleksi yang ketat, itulah mengapa panggilan ALLAH untuk berpuasa di bulan Ramadhan hanya ditujukan bagi orang-orang beriman, karena tidak semua orang yang mengaku muslim mau mendengarkan perintah untuk berpuasa. Orang-orang yang mengaku muslim ditantang untuk membuktikan diri di hadapan Tuhannya, apakah memang keimanannya benar-benar murni hanya kepada ALLAH, atau keimanannya hanya sampai di lisan saja, atau justru keimanannya hanya ketika dilihat orang lain, karena puasa adalah ibadah dimana hanya orang yang melaksanakannya dan ALLAH saja yang tahu. Orang-orang yang beriman merasa senang dengan kewajiban berpuasa dan akan menjalankannya dengan penuh kekhusyu'an. Mereka akan tertantang untuk memberikan ibadah-ibadah dan amalan-amalan terbaik selama bulan Ramadhan. Tujuannya tentu saja mengharapkan ampunan, rahmat, dan pembebasan dari api neraka dari ALLAH SWT.  Orang-orang beriman yang mau berpuasa tapi tidak mampu karena uzur syar'i seperti sakit atau karena sudah tua sehingga badan tidak sanggup lagi untuk berpuasa akan merasakan kekecewaan yang mendalam.

Persamaan yang kedua yaitu, bahwa kedua even tersebut berlangsung selama 1 (satu) bulan penuh atau kurang lebih 30 (tiga puluh) hari. Piala Dunia kali ini berlangsung selama 32 (tiga puluh dua) hari, sedangkan Ramadhan tahun ini berlangsung 29 (dua puluh sembilan) atau 30 (tiga puluh) hari.  Ada apa dengan 1 (satu) bulan atau 30 (tiga puluh hari)? Sebuah perilaku yang apabila dilakukan secara terus-menerus akan menjadi sebuah kebiasaan. Selanjutnya, sebuah kebiasaan yang secara kontinyu dilakukan akan mengkristal menjadi sebuah karakter, dan waktu tiga puluh hari adalah waktu yang pas untuk membuat suatu kebiasaan. Saat Piala Dunia di Brazil tempo hari yang berarti di negeri kita ini disiarkan antara pukul 22.00 sampai jam 05.00 WIB, kita dibiasakan untuk begadang atau bangun pada dinihari setelah terlelap di malam hari, dan untuk membantu mata agar kuat melek mungkin kita membiasakan diri minum kopi atau makan cemilan walaupun tadinya tidak terlalu suka.  Pun dengan kebiasaan bangun kesiangan yang menyebabkan seringnya terlambat datang ke kantor atau sekolah karena habis begadang. Bagi penggila bola yang tentunya berusaha untuk tidak melewatkan satu pertandingan pun, kebiasaan ini tidak mudah untuk dihilangkan.  Setelah Piala Dunia usai kita masih terbiasa bangun di malam hari walaupun sebenarnya tidak ada niatan untuk bangun malam.  Nah, kita bisa memanfaatkan kebiasaan bangun di tengah malam ini untuk mengerjakan shalat malam dan kegiatan-kegiatan lainnya yang lebih efektif kita kerjakan di dalam sepinya malam, seperti menulis atau membaca misalnya.

Demikian halnya dengan Ramadhan. Selama bulan Ramadhan kita dirangsang untuk melaksanakan ibadah yang bervariasi sebanyak-banyaknya dengan balasan pahala yang berlipat ganda.  Selain puasa, kita juga sangat dianjurkan untuk mengisi bulan Ramadhan dengan memperbanyak shalat sunnah (qiyam), membaca dan mempelajari Al Qur'an, menunaikan zakat, serta memperbanyak infak dan sedekah, berbagi dengan sesama seperti menyediakan makanan berbuka dan sahur, sampai melaksanakan i'tikaf di sepuluh hari terakhir.  ALLAH menjanjikan akan melipatgandakan pahala-pahala dari semua amal ibadah itu, harapannya, setelah melakukan secara rutin selama satu bulan, amal-amal tadi tetap akan diamalkan setelahnya tanpa terlalu memikirkan berapa besarnya ganjaran yang akan diperoleh karena telah menjadi habit. Jadi, apa yang kita tanam di bulan Ramadhan lalu, akan menjadi kebiasaan kita setidaknya selama satu tahun ke depannya sampai bertemu lagi dengan Ramadhan berikutnya dan begitu seterusnya.

Dalam lingkup yang lebih luas, kebiasaan-kebiasaan positif lainnya bisa kita bentuk dengan setidaknya berusaha keras untuk melakukannya secara kontinyu di satu bulan pertama.  Memang memerlukan energi yang besar dan keteguhan tekad pada awalnya, tapi setelah satu bulan terlewati kita akan lebih merasa ringan untuk melanjutkan kebiasaan itu.  Begitu juga dengan kebiasaan buruk, bisa kita hilangkan dengan berjuang keras menghindarinya selama satu bulan.  Seperti kita yang ingin berhenti merokok misalnya, bisa mencobanya dengan 'memaksakan diri' berhenti selama satu bulan, dan setelah melewati kurun waktu tersebut, niscaya keinginan untuk merokok sudah jauh berkurang.  Selanjutnya tinggal kekuatan niat dan kebulatan tekad kita untuk menghentikan kebiasaan itu.

Persamaan yang terakhir adalah kedua ajang ini sama-sama memunculkan pemenang. Piala Dunia edisi kali ini memunculkan Jerman sebagai pemenang. Bastian Schweinsteiger, dkk. mempecundangi Argentina lewan gol tunggal Mario Gotze di babak kedua perpanjangan waktu.  Gelar itu merupakan gelar keempat Jerman (termasuk ketika masih bernama Jerman Barat) sekaligus mencetak sejarah menjadi tim Eropa pertama yang mampu meraih tahta di Amerika Latin. Selain Jerman, beberapa tim lain seperti Belanda, Kostarika, Kolombia, bahkan Argentina sendiri dianggap berhasil walaupun tidak meraih gelar juara, dikarenakan mereka mampu melampaui target yang dicanangkan dan melebihi ekspektasi para pendukungnya.  Dalam hal ini mereka juga adalah pemenang.

Ramadhan juga melahirkan pemenang. Pemenang di bulan Ramadhan adalah mereka yang berpuasa dan menunaikan ibadah-ibadah lainnya, serta melakukan amal-amal sholeh dengan penuh keimanan dan 'ihtisaban (beribadah dengan selalu mengharap pahala dari ALLAH SWT).  Dan ada lagi pemenang sejati Ramadhan yaitu orang-orang yang mampu mengaplikasikan apa yang dia kerjakan di bulan Ramadhan dalam kesehariannya pasca-Ramadhan.

Selain memunculkan pemenang, kedua peristiwa besar ini juga melahirkan pecundang. Italia, Inggris, Spanyol, dan tuan rumah Brazil harus rela jadi pecundang pada gelaran Piala Dunia kali ini.  Kelelahan, kejenuhan, minimnya pengalaman, bahkan sampai perasaan menganggap remeh lawan menjadi penyebab jebloknya prestasi mereka kali ini. Pecundang di bulan Ramadhan adalah orang-orang yang mengaku muslim dan mengaku beriman dengan lisannya tapi tidak mau berpuasa, apalagi melaksanakan ibadah-ibadah lainnya. Mereka benar-benar tidak terpanggil untuk melaksanakan ibadah puasa dan ibadah lainnya baik dalam keseluruhan bulan Ramadhan ataupun sebagiannya tanpa adanya uzur syar'i. Orang-orang kalah lainnya adalah orang-orang yang menginjak gas penuh pada awal-awal Ramadhan tapi kendor di tengah perjalanan, dan melemah justru ketika mendekati garis finis, bahkan ada di antara mereka yang menganggap Ramadhan sudah usai sebelum waktunya, yaitu ketika RasuluLLAH SAW menganjurkan untuk menghidupkan sepuluh hari terakhir (Ihyau 'asyrul awakhir Ramadhan), tapi mereka malah berlomba-lomba dalam membeli pakaian baru atau membuat kue-kue dan hidangan-hidangan lainnya untuk berlebaram, sampai-sampai melupakan shalat, sedekah, apalagi i'tikaf. Terkadang sampai melewatkan puasa yang merupakan ibadah inti di bulan Ramadhan itu sendiri.

Termasuk yang manakah kita? Tanpa perlu men-justifikasi orang lain, kita bisa meng-evaluasi diri kita sendiri apakah kita termasuk pemenang ataukah justru termasuk ke dalam golongan orang-orang yang kalah.  Syukur kalau kita bisa menjadi seorang pemenang sejati yang mampu mengaplikasikan apa yang kita kerjakan di bulan Ramadhan dalam keseharian kita pasca-Ramadhan.

ALLAH SWT tentunya tidak menjadikan segala peristiwa secara kebetulan.  Dalam setiap peristiwa pasti ada hikmah yang dapat kita ambil. Berlangsungnya Piala Dunia dan Ramadhan pada tahun ini yang beririsan waktunya juga bukanlah suatu kebetulan.  Di sana pasti ada pelajaran yang mendalam yang dapat memberikan manfaat besar bagi pengembangan diri kita kalau kita mau merenunginya. Ramadhan dan Piala Dunia tahun ini boleh usai, tapi semangatnya harus tetap kita bawa dalam kehidupan kita. Sebagaimana Jerman yang mampu mencetak sejarah baru, kita juga seharusnya mampu mencetak sejarah baru setidaknya bagi diri kita sendiri, bahwa dengan perencanaan yang matang, perjuangan tak kenal lelah, dan permainan yang indah dan atraktif, kita mampu memberi warna tersendiri bagi kehidupan kita, sebagaimana juga Ramadhan yang memberikan pelajaran dan pengalaman bagaimana lezatnya bermunajat kepada Allah SWT, bagaimana nikmatnya berbagi kepada sesama dan bagaimana bahagianya dapat memberikan manfaat bagi orang lain.  Semoga kita termasuk orang-orang yang memang dapat membuktikan keimanan kita di hadapan ALLAH SWT, juga termasuk orang-orang yang dapat membentuk kebiasaan-kebiasaan baik sekaligus melanggengkannya, serta termasuk orang-orang yang keluar sebagai pemenang sejati dalam kehidupan ini.